BAGIAN 1
KATA PENGANTAR
Poso merupakan suah wilayah Kabupaten di Provinsi Sula Tengah-Indonesia.
Secara geografis Kabupaten Poso terletak pada koordinat 120.75° dengan luas wilayah 7.112.25 km² dan jumlah penduduk 248.325 jiwa (2021).
Ibu kota Kabupaten Poso terletak di Kelurahan Gebangrejo, Kecaman Poso Kota, Sulawesi Tengah.
Orang-orang yang mendiami tanah Poso mula-mula, adalah orang dari Poso itu sendiri yang terbagi dari dua suku besar yaitu, suku Pamona dan Lore atau yang umum disebut sebagai orang Pamona (Bare'e), orang Bada, orang Napu dan orang Behoa atau Besoa
Sebelum program pemekaran wilayah, Kabupaten Poso menjadi pusat pemerintahan administrasi bagi wilayah-wilayah lain seperti Kabupaten Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Laut, Bangga Kepulauan, Morowali dan Morowali Utara yang saat ini sudah berdiri sendiri.
Memasuki era kemerdekaan, Kabupaten Poso yang pada saat masih statis Daerah Tingkat Dua atau Dati II Poso pernah menjadi pusat pertempuran akibat kesalahpahaman dari kepentingan antara pejuang Poso yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Sulawesi Teng (GKST) dengan pemerintah pusat yang berujung pada gugurnya puluhan pemuda Poso.
Pada tahun 1908 wilayah ini juga pernah dilanda konflik antar komunal yang kemudian berubah menjadi konflik horizontal bernuansa SARA.
Bias dari konflik ini akhirnya melahirkan gerakan terorisme di bawah kendali Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Gerakan ini nanti berhasil dituntaskan pada masa kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden dan Rusdy Mastura sebagai Gubernur dan pada sat Poso dipimpin oleh seorang perempuan bernama Verna Gladies Inkiriwang sebagai Bupati Poso periode (2020-2024).
Kehidupan Masa Lampau Orang Poso
Pada zaman dahulu orang-orang yang tinggal di wilayah Poso hidup di bawah bayang-bayangi oleh dua kekuasaan raja besar, yaitu kepada Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi dan kepada raja Luwu yang berkedudukan Palopo.
Pengaruh kekuasaan raja-raja tersebut nanti berhenti setelah ada upaya-upaya yang di tempuh oleh Pemerintah Hindia Belanda lewat campur tangan misionaris Kristen bernama Albert Christian Kruyt dan satu rekannya seorang alih bahasa bernama Nikolaas Adriani.
Dalam menjalankan misinya kedua misionaris ini melakukan perjalanan hingga ke pelosok hutan dan pegunungan serta mencatat semua pengalamannya termasuk benda-benda purbakala yang mereka temukan dalam perjalanannya.
Catatan Kruyt tersebut kemudian dibukukannya dalam berbagai judul.
Buku inilah yang kemudian menjadi referensi bagi para peneliti untuk mendalami tentang megalitikum di Sulawesi Tengah.
Penulis juga menggunakan buku Kruyt sebagai salah satu referen dan data sebagai bahan buku.
إرسال تعليق