Doc / Int
By: Deddy Todongi
Morowali, Sulawesi Tengah — Tersembunyi di balik hutan lebat Morowali, terdapat sebuah situs prasejarah yang diyakini menyimpan jejak manusia tertua di Indonesia bagian timur. Dikenal sebagai Gua Topogaro, situs ini menarik perhatian arkeolog internasional karena menyimpan peninggalan budaya manusia purba yang diperkirakan berusia 42.000 tahun. Sayangnya, warisan tak ternilai ini kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi besar-besaran tambang nikel dan galian batu di kawasan tersebut.
Topogaro bukan sekadar gua. Ia merupakan kompleks situs arkeologi yang terdiri dari tiga gua utama—Topogaro 1, 2, dan 3—yang terletak sekitar 3 kilometer dari pesisir timur Sulawesi dan berada di ketinggian 150 meter. Di tempat inilah para peneliti dari Indonesia dan Jepang menemukan berbagai artefak penting: alat batu, pecahan gerabah, sisa tulang hewan purba seperti anoa dan babirusa, serta lukisan cap tangan di dinding gua—yang menjadi penanda awal ekspresi artistik manusia.
Salah satu temuan paling menarik adalah kemiripan pola gerabah di Topogaro dengan budaya Lapita yang ditemukan di wilayah Pasifik, yang menunjukkan adanya jaringan interaksi antarwilayah ribuan tahun lalu, jauh sebelum bangsa modern mengenal kapal laut.
“Topogaro bukan sekadar situs lokal. Ia bisa menjadi kunci untuk memahami migrasi Homo sapiens di Asia Tenggara dan kaitannya dengan Afrika dan Eropa,” ujar Rintaro Ono, arkeolog dari National Museum of Ethnology, Jepang, yang memimpin ekskavasi bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ekskavasi yang dilakukan sejak tahun 2016 mengungkap 19 lapisan budaya berbeda yang mencerminkan kehidupan manusia dari berbagai zaman—mulai dari Pleistosen Akhir hingga Holosen, atau dari 42.000 tahun lalu hingga beberapa abad terakhir.
Namun kini, situs ini menghadapi ancaman nyata dari luar dunia penelitian. Aktivitas tambang yang masif, terutama untuk nikel, telah merusak sebagian area di sekitar gua. Beberapa bagian situs bahkan dilaporkan sudah hancur. Meski zona inti masih utuh, para peneliti menegaskan pentingnya penetapan zona konservasi resmi yang dilindungi hukum untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
“Jika zonasi dan perlindungan hukum tidak segera diterapkan, kita bisa kehilangan warisan tak ternilai ini,” tegas Ono.
Para arkeolog mendesak pemerintah pusat dan lembaga terkait untuk mengambil tindakan nyata demi menyelamatkan situs Topogaro. Ini bukan hanya soal menjaga artefak kuno—tetapi tentang melindungi identitas, pengetahuan, dan akar sejarah umat manusia.
Jika Gua Topogaro hilang, kita tidak hanya kehilangan sebuah situs kuno—kita kehilangan sebagian dari jati diri kita sendiri.
#SelamatkanTopogaro | #WarisanBudayaDunia | #StopTambangMerusak | #GuaPrasejarah | #ArkeologiIndonesia | #MegalitSulawesi | #CagarBudayaMorowali | #AsalUsulManusia
إرسال تعليق