Patung kembar di areal Situs Pokekea sebelum "dipenjarakan" bebas dan indah dipandang mata.
Behoa, Poso, Bongkarsulteng.my.id — Di tengah hamparan savanah Lembah Behoa yang tenang, kini mulai berdiri pagar pembatas yang menusuk mata.
Satu per satu patung megalit yang selama ini menjadi simbol kebebasan dan kejayaan masa lampau kini mulai dikurung seperti benda tak bernyawa.
Pihak Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVIII Sulawesi Tengah beralasan, pemagaran dilakukan untuk melindungi situs dari tangan-tangan jahil pengunjung.
"Iya, kami beberapa kali mengamati prilaku pengunjung terutama objek2 yg memiliki tingkat kunjungan yg tinggi kami menganggap kontak lansung (sentuh, duduk, manjat dll) dapat berdampak secara lansung maupun tidak lansung terhadap objek cagar budaya. Dalam konteks pencegahan perlu ada penanda batas untuk pengunjung," ujar Chalid Humas BPK Sulteng saat dikonfirmasi media ini, Minggu (02/11/25).
Namun di balik alasan itu, muncul dugaan kuat bahwa pemagaran ini bukan sekadar pelindungan, melainkan bagian dari proyeksasi tahap awal — langkah membuka jalan bagi proyek fisik yang lebih besar di masa mendatang.
“Indikiasinya begitu polanya. Dimulai dari patok, tali, lalu pagar permanen. Setelah itu muncul proyek lanjutan dengan anggaran besar,” ungkap seorang sumber lapangan yang enggan disebut namanya.
Jika dugaan ini benar, maka pelestarian situs budaya kembali terjebak dalam mental proyek dan pemborosan uang negara. Beberapa tahun terakhir, publik mencatat berulang kali proyek fisik di kawasan situs-situs megalit Sulteng justru rapuh dan tidak bertahan lama, namun terus berulang dengan nama berbeda.
Padahal, semangat pelestarian dalam panduan UNESCO Heritage Management menekankan keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan publik — bukan memagari situs hingga terisolasi.
“Pemagaran tidak otomatis berarti pelindungan. Jika tujuan utamanya membuka ruang proyek baru, maka ini bentuk penyimpangan dari prinsip heritage management. Warisan budaya bukan ladang anggaran,” tegas seorang pemerhati cagar budaya yang turut menyoroti kasus ini.
Selain merusak estetika lanskap, pagar di zona inti Behoa dinilai menghilangkan nilai visual dan pengalaman langsung bagi wisatawan, terutama wisatawan asing yang datang untuk merasakan nuansa spiritual dan historis di tengah bentang alam terbuka.
Sebagai pemandu wisata yang kerap mendampingi tamu internasional, salah seorang narasumber mengungkapkan kekecewaannya.
“Kami sering mendengar langsung dari wisatawan, mereka datang jauh-jauh ke Behoa karena ingin melihat patung megalit di alam bebas. Kalau semua dipagari seperti ini, daya tariknya hilang. Situs bukan lagi ruang edukasi, tapi ruang steril yang membosankan,” ujarnya.
Langkah Balai ini kini menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa alih-alih melindungi warisan, lembaga ini justru menjauhkan rakyat dari peninggalan leluhurnya sendiri.
Karena pada akhirnya, pagar itu bukan hanya sekadar besi — tetapi simbol dari bagaimana warisan budaya diurus dengan cara yang lebih menguntungkan proyek daripada pengetahuan.

Posting Komentar