POSO, SULTENG – Warga Dusun Labuadago, Desa Poleganyara, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, tak pernah menyangka "air bersih" yang dikucurkan pemerintah pusat justru menjadi ancaman mematikan.
Proyek senilai Rp78 juta dari Rp 130 juta yang bersumber dari dana Kementerian Desa Tertinggal, nyatanya hanya menyuplai air dari sumber tercemar—tepat di bawah lokasi pembuangan tinja dan aktivitas perkebunan warga Desa Kancuu yang otomatis menggunakan racun berbahaya yang dapat mengancam jiwa manusia baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Sumber air yang digunakan berada di aliran Sungai Tancueni yang saban hari menjadi tempat buang hajat dan limbah domestik. Alih-alih membangun solusi yang sebenarnya tidak urgen proyek ini justru mempercepat datangnya malapetaka berupa penyakit berbasis air seperti kolera, diare, gatal-gatal hingga cacingan massal.
Lebih mengejutkan, Pj Kepala Desa Poleganyara, Handri Tumonggi, yang sudah berkali-kali diperingatkan warga soal bahaya penggunaan sumber air tersebut justru semakin menjadi-jadi dan bersikeras melanjutkan proyek tersebut seolah menantang logika dan nyawa rakyat kecil.
Sementara Ketua BPD Poleganyara, Rangky Tologana, yang dikonfirmasi wartawan pada Senin (29/7/25) mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pengerjaan proyek ini. Dia juga mengakui jika sumber air yang digunakan untuk proyek tersebut tidak memenuhi syarat dan berbahaya untuk dikonsumsi.
"Informasi yang saya terima sumber air di Tancueni tidak layak konsumsi. Itu lokasi berdekatan dengan lahan perkebunan milik warga Kancuu dan terdapat aktivitas pembuangan limbah manusia (tinja) di sekitar sumber air," ungkapnya.
Pemaksaan proyek di zona perkebunan dan buang tinja tersebut akhirnya menimbulkan anggapan lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
Pemerintah di anggap gagal mengawasi pembangunan di wilayahnya. Reputasi pemerintah daerah tercoreng, seakan tutup mata terhadap program yang justru membahayakan kesehatan rakyat.
Skandal proyek yang tidak memiliki gambar dan papan proyek ini menjadi contoh dan membuka mata publik bahwa tidak semua proyek "air bersih" benar-benar bersih—terutama jika perencanaannya tidak transparan, pengawasannya lemah, dan pelaksananya abai terhadap suara rakyat.
Kini, masyarakat bertanya: Apakah nyawa warga Labuadago pantas ditukar dengan proyek senilai Rp 78 juta yang di bangun di zona merah dan air yang tidak hygienis?
Posting Komentar