Desa Poleganyara, dahulu dikenal sebagai Ponggee, adalah sebuah perkampungan tua yang terletak di kawasan pegunungan dan hutan Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah ini menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang belum banyak dikenal, namun sarat akan nilai-nilai kearifan lokal dan jejak peradaban leluhur.
Pada masa lalu, masyarakat Poleganyara hidup secara nomaden. Mereka berpindah-pindah untuk bercocok tanam dan berburu, namun tetap berada dalam satu bentang wilayah yang sama—yakni di antara aliran sungai, hutan lebat, dan tebing-tebing pegunungan. Sistem hidup mereka terikat kuat dengan alam dan dituntun oleh kepercayaan animisme dan dinamisme.
Hal ini terbukti dari praktik pemakaman dalam gua-gua batu, yang hingga kini masih menyimpan tengkorak manusia sebagai saksi bisu kehidupan masa lampau. Selain itu, sisa-sisa bangunan rumah kuno yang disebut lobo juga masih dapat ditemukan di beberapa tempat tersembunyi di sekitar wilayah desa.
Meskipun Poleganyara tidak memiliki peninggalan megalitik seperti wilayah Lore lainnya, warisan budaya masyarakatnya menunjukkan jejak kuat kebudayaan Austronesia, terutama dalam sistem penguburan dan kehidupan komunitas berbasis alam.
Melalui antologi ini, saya sebagai putra Ponggee asli, wartawan, penulis buku dan pemandu wisata berbahasa asing berupaya mendokumentasikan secara naratif seluruh potensi alam, sejarah, dan budaya Poleganyara—dari Air Terjun Tancueni yang alami dan belum banyak tersentu.
Tulisan ini juga mengetengahkan tantangan pelestarian identitas lokal di tengah arus modernisasi, sekaligus menjadi pijakan awal dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat.
Semoga antologi ini tidak hanya menjadi bahan bacaan, tetapi juga menjadi jembatan pengetahuan dan inspirasi untuk melindungi serta mengembangkan warisan budaya dan alam Poleganyara secara berkelanjutan.
Sejarah dan Asal-Usul Poleganyara
Desa Poleganyara, yang kini dikenal sebagai salah satu wilayah pemukiman tetap di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, memiliki sejarah panjang yang berakar dari masa ketika tempat ini masih bernama Ponggee. Nama lama ini hidup dalam ingatan masyarakat tua sebagai penanda awal mula komunitas manusia yang mendiami kawasan tersebut secara nomaden.
Pada masa lampau, masyarakat Poleganyara tidak menetap dalam satu tempat permanen. Mereka menjalani kehidupan nomaden terbatas, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di dalam wilayah hutan, sungai, dan pegunungan yang sama. Perpindahan ini bukan tanpa pola, tetapi mengikuti siklus alam dan kebutuhan pokok masyarakat dalam bertani secara ladang berpindah (bercocok tanam) dan berburu binatang liar.
Sistem kepercayaan kuno yang dianut oleh masyarakat saat itu adalah animisme dan dinamisme. Alam dipandang sebagai entitas yang hidup, memiliki roh, dan harus dihormati. Pohon-pohon besar, batu, air terjun, dan gua-gua diyakini memiliki penghuni gaib dan dijadikan tempat ritual atau larangan.
Salah satu bukti nyata keberadaan masyarakat kuno di wilayah ini adalah pekuburan dalam gua-gua batu, yang hingga kini masih dapat ditemukan di beberapa titik tersembunyi. Di dalam gua-gua tersebut terdapat tengkorak dan tulang-belulang manusia, yang menunjukkan praktik penguburan leluhur secara tradisional. Catatan tentang hal ini pernah dicatat oleh misionaris Belanda, Mr. Ch. Kryut, yang menyebutkan adanya tradisi pemakaman dalam gua yang sangat khas di wilayah pegunungan Pamona.
Selain itu, di beberapa tempat juga masih terdapat sisa-sisa struktur rumah tradisional yang disebut lobo oleh masyarakat setempat. Lobo adalah rumah panggung dari kayu dan bambu, sederhana namun fungsional, yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal, penyimpanan hasil panen, atau perlindungan saat berburu. Jejak ini memperkuat bukti bahwa masyarakat Poleganyara telah lama hidup selaras dengan alam, membentuk pola hunian yang menyatu dengan lingkungan.
Meski desa ini tidak memiliki peninggalan megalitikum sebagaimana ditemukan di wilayah Lore lainnya, Poleganyara tetap menyimpan jejak peradaban Austronesia melalui tradisi pemakaman dan struktur sosialnya. Keberadaan masyarakatnya yang menjaga jarak dari kekuasaan luar selama ratusan tahun menjadikan budaya mereka tetap orisinal dan kuat.
Seiring waktu dan masuknya pengaruh luar melalui agama, pendidikan, dan administrasi pemerintahan, pola hidup nomaden mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai menetap, membentuk komunitas desa yang lebih terorganisir. Namun ingatan kolektif tentang asal-usul dan nilai-nilai leluhur tetap hidup dalam cerita rakyat, nama tempat, dan ritual adat yang masih dijalankan hingga kini.
Air Terjun Tancueni – Pesona Alam yang Tersembunyi
Di tengah rimbunnya hutan pegunungan Poleganyara, tersimpan sebuah keindahan alam yang masih jarang dijamah manusia: Air Terjun Tancueni. Lokasinya berada cukup jauh dari pemukiman, menyatu dengan lanskap alami yang memanjakan mata dan menenangkan jiwa. Suara gemuruh air yang jatuh dari ketinggian berpadu dengan kicauan burung dan bisikan angin hutan, menciptakan suasana yang begitu tenang dan magis—seolah-olah berada di dunia yang terpisah dari hiruk-pikuk kehidupan modern.
Air Terjun Tancueni bukan sekadar tempat wisata alam biasa. Bagi masyarakat Poleganyara, tempat ini memiliki makna historis dan emosional. Sejak dahulu, hutan di sekitar Tancueni menjadi tempat perburuan dan pencarian bahan pangan. Selain itu, sejumlah warga tua juga meyakini bahwa kawasan ini pernah menjadi jalur migrasi leluhur saat mereka masih menjalani hidup nomaden di sekitar wilayah Ponggee.
Nama “Tancueni” sendiri berasal dari bahasa lokal yang berarti “menuruni batu” atau “air jatuh dari bebatuan tinggi.” Nama ini merujuk pada karakteristik fisik air terjun yang menjuntai dari tebing batu besar, membentuk kolam alami di bawahnya. Airnya jernih dan segar, sering dimanfaatkan sebagai tempat mandi, atau sekadar tempat beristirahat setelah perjalanan jauh.
Belum banyak dokumentasi resmi yang menyoroti potensi Air Terjun Tancueni sebagai destinasi wisata. Namun justru karena ketersembunyiannya itu, Tancueni memiliki daya tarik otentik. Tidak ada bangunan permanen, tidak ada jalan setapak beton, dan tidak ada kebisingan kendaraan—semua serba alami. Bagi pecinta petualangan dan wisata berbasis alam, tempat ini adalah surga tersembunyi yang belum terjamah.
Potensi pengembangan wisata alam di Air Terjun Tancueni sangat besar, terutama jika dikelola secara bijak dan berbasis masyarakat. Keterlibatan Pokdarwis dalam merintis jalur wisata alam, menjaga kebersihan, serta melibatkan pemuda desa dalam pemanduan, bisa menjadi langkah awal menuju wisata berkelanjutan yang tetap menghargai kelestarian lingkungan dan nilai-nilai lokal.
Tancueni adalah simbol kekuatan alam Poleganyara—sunyi, bersih, dan penuh makna. Lebih dari sekadar tempat piknik, ia adalah pengingat bahwa alam bukan hanya latar, tapi bagian dari sejarah dan identitas masyarakat.
Tradisi, Bahasa, dan Struktur Sosial Masyarakat Poleganyara
Di balik bentang alam yang menakjubkan dan situs budaya yang tersembunyi, masyarakat Poleganyara menyimpan kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang terbentuk melalui perjalanan panjang sejarah. Meski kini banyak perubahan akibat perkembangan zaman, namun nilai-nilai lama masih hidup dalam praktik sehari-hari—membentuk identitas unik yang membedakan Poleganyara dari desa-desa lain di sekitarnya.
Bahasa dan Jejak Austronesia
Bahasa lokal masyarakat Poleganyara termasuk dalam rumpun bahasa Pamona, yang merupakan bagian dari keluarga besar bahasa Austronesia. Bahasa ini menjadi alat pewarisan nilai-nilai budaya, kisah leluhur, dan sistem pengetahuan lokal. Beberapa istilah seperti lobo (rumah lama), ponggee (nama lama desa) menyimpan muatan sejarah dan makna ekologis yang tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa lain.
Selain bahasa lisan, tradisi tutur menjadi warisan penting. Kisah-kisah tentang asal-usul nenek moyang, migrasi dalam hutan, serta kepercayaan terhadap roh penjaga alam diceritakan dari generasi ke generasi, sering kali melalui nyanyian atau cerita malam di lumbung.
Sistem Sosial dan Gotong Royong
Struktur sosial masyarakat Poleganyara bersifat kolektif dan berbasis pada asas kekeluargaan. Nilai gotong royong masih kuat dalam berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan pertanian, pembangunan rumah, hingga pengurusan upacara adat atau duka cita. Hubungan antarwarga sangat erat, dan keputusan penting biasanya diambil melalui musyawarah desa.
Kepemimpinan adat, meskipun tidak lagi dominan seperti dahulu, masih dihormati. Para tetua atau orang yang dituakan menjadi tempat bertanya, penengah konflik, sekaligus penjaga nilai-nilai tradisional. Bahkan dalam masyarakat modern, suara tetua masih dipertimbangkan dalam proses pembangunan atau penyelesaian masalah sosial.
Ritus dan Kepercayaan Lama
Meski kini mayoritas warga telah memeluk agama formal, jejak animisme dan dinamisme tetap terlihat dalam beberapa praktik budaya. Misalnya, kebiasaan meminta izin sebelum membuka lahan atau memasuki kawasan hutan tertentu, atau keyakinan terhadap tempat-tempat yang dianggap “berpenghuni” secara spiritual.
Pekuburan di gua-gua batu yang masih dapat ditemukan hingga sekarang menunjukkan adanya keyakinan kuno tentang dunia roh dan penghormatan terhadap orang mati. Gua bukan hanya tempat menyimpan jasad, tapi juga dipercaya sebagai ruang transisi antara dunia manusia dan arwah leluhur.
Poleganyara bukan sekadar sebuah nama desa. Ia adalah jejak langkah para leluhur yang berpindah di rimba dan lereng, yang hidup menyatu dengan alam, dan yang meninggalkan tanda kehidupan di dalam gua-gua sunyi.
Dari tengkorak dalam gelap gua hingga langkah-langkah modern hari ini, kisah Poleganyara adalah cermin perjalanan manusia: dari alam liar menuju peradaban, dari kepercayaan kuno menuju keyakinan baru.
Antologi ini hanya sepenggal kisah yang dituturkan kembali, namun semoga mampu menghidupkan rasa hormat dan rasa ingin tahu atas asal-usul kita sendiri.
Karena sejauh apapun kita melangkah, akar-akar sejarah akan selalu menuntun kita pulang.
Posting Komentar