Poso, Sulawesi Tengah – Dua sumber mata air panas alami yang berada di Desa Tomehipi dan Desa Lengkeka, Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, menyimpan potensi luar biasa untuk menjadi destinasi wisata unggulan, terutama bagi wisatawan mancanegara. Sayangnya, hingga saat ini potensi tersebut masih belum tergarap secara maksimal.
Selain keunikan air panas yang keluar dari perut bumi, daya tarik utama kawasan ini semakin kuat dengan kehadiran patung-patung megalit kuno yang tersebar di sekitar lokasi. Patung-patung ini merupakan bagian dari warisan budaya prasejarah Lembah Bada, yang telah lama dikenal sebagai salah satu kawasan situs megalitikum penting di Indonesia.
Tak hanya itu, kawasan sekitar juga masih mempertahankan warisan budaya lokal berupa rumah adat tradisional yang dikenal sebagai tambi—rumah panggung khas masyarakat Bada yang dibangun dari kayu dan beratap rumbia. Keberadaan tambi mencerminkan kearifan lokal dan kehidupan tradisional masyarakat Lore Barat yang masih lestari hingga kini.
“Jika dikembangkan dengan baik, kawasan ini bukan hanya menjadi tempat relaksasi di alam, tetapi juga ruang edukasi budaya yang unik bagi wisatawan asing,” kata seorang tokoh pemuda setempat.
Sayangnya, fasilitas penunjang seperti kolam rendam, jalur akses, dan bangunan standar wisata belum tersedia secara layak. Padahal, keberhasilan pengelolaan air panas untuk wisata sudah terbukti di berbagai daerah seperti di Sulawesi Utara, yang mampu mendatangkan ribuan wisatawan setiap tahun.
Dengan sentuhan pengelolaan yang baik—baik dari pemerintah, swasta, maupun inisiatif masyarakat—mata air panas Tomehipi dan Lengkeka dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Tidak hanya dari tiket masuk, tetapi juga dari pengembangan UMKM, kuliner khas desa, dan jasa pemandu lokal.
Bab V: Potensi dan Harapan – Membangun Poleganyara Berbasis Kearifan Lokal
Poleganyara, yang dulunya dikenal sebagai Ponggee, bukan sekadar nama sebuah desa—ia adalah jejak panjang perjalanan manusia, alam, dan budaya yang telah berpadu sejak masa lampau. Dalam era modern ini, jejak itu tidak harus dilupakan, justru sebaliknya: bisa menjadi fondasi kuat bagi pembangunan masa depan yang berkelanjutan dan bermartabat.
1. Warisan Budaya sebagai Daya Tarik Wisata
Jejak Austronesia, sistem penguburan gua, sumber air panas Tomehipi, hingga kisah kehidupan nomaden dan rumah-rumah adat (lobo) adalah kekayaan tak ternilai. Jika dirancang dengan tepat, Poleganyara bisa menjadi desa wisata berbasis sejarah dan budaya, yang menyuguhkan pengalaman otentik kepada wisatawan—baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini tak hanya mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi juga membangkitkan kembali rasa bangga masyarakat terhadap identitas leluhurnya.
2. Alam sebagai Mitra Pembangunan
Kawasan hutan, sungai, air terjun Tancueni, dan sumber air panas tidak boleh dilihat hanya sebagai objek eksploitasi. Alam di Poleganyara adalah mitra yang memberi kehidupan, dan harus dikelola dengan pendekatan ekowisata dan konservasi berbasis masyarakat. Kegiatan wisata minat khusus seperti trekking, mandi air panas, atau kunjungan budaya ke pekuburan gua dapat dikembangkan tanpa merusak keseimbangan alam.
3. Generasi Muda sebagai Penjaga Jejak
Generasi muda Poleganyara memegang peran penting. Mereka harus diperkuat dengan pendidikan berbasis kearifan lokal, dikenalkan pada sejarah, bahasa, dan tradisi nenek moyangnya. Penguatan komunitas melalui pelatihan, dokumentasi, media digital, dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya bisa menjadi jalan bagi regenerasi identitas dan ekonomi yang sehat.
4. Membangun Kolaborasi dan Partisipasi
Pembangunan Poleganyara tidak bisa diserahkan pada satu pihak saja. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, tokoh adat, pemuda, akademisi, dan pelaku wisata. Konsep desa partisipatif harus dikedepankan, di mana masyarakat tidak sekadar menjadi objek pembangunan, tapi menjadi subjek utama yang merencanakan, mengelola, dan menjaga arah masa depan desanya.
Poleganyara bukan tempat tanpa masa depan. Ia punya akar sejarah yang dalam, tanah yang subur, masyarakat yang berjiwa gotong royong, dan kisah-kisah lama yang layak dirayakan. Tinggal bagaimana kita, hari ini, memilih: menguburnya dalam diam, atau membangunnya kembali dengan cahaya harapan dan kebanggaan.
Posting Komentar