Coni Modjanggo (NasDem): “Kebijakan Aneh, Tidak Transparan, dan Berpotensi Menyimpang dari Prinsip Pelestarian! Jangan-jangan Ini Hanya Proyek Berkedok Pelestarian!”
Poso,Bongkarsulteng.my.id — Kebijakan pemagaran di zona inti Cagar Budaya pada Situs Watunongko (Lembah Napu) dan Situs Pokekea (Lembah Behoa), Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, memantik kecurigaan publik.
Langkah ini kini tak hanya dianggap tergesa-gesa, tetapi juga dinilai lebih dominan menyerupai proyek konstruksi ketimbang upaya pelestarian yang sesuai standar.
Kritik paling keras disampaikan Anggota DPRD Poso, Coni Modjanggo (Fraksi NasDem), yang menyoroti indikasi kuat bahwa pemagaran ini lebih mengutamakan pengerjaan fisik daripada perlindungan nilai-nilai arkeologis megalit yang menjadi identitas Lembah Napu dan Behoa.
Menurut Coni, pola kebijakan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII terkesan mengikuti logika proyek berbasis output fisik, bukan logika pelestarian yang berbasis kajian, rekomendasi TACB, dan keterlibatan masyarakat.
“Pemagaran ini sangat janggal. Kalau pelestarian, dasar akademisnya dulu dibuka. Kalau proyek, ya jelas—yang dikejar cuma fisiknya. Jangan sampai publik melihat ini sebagai proyek yang dipaksakan masuk ke zona inti tanpa kajian,” tegas Coni.
Ditegaskannya, Cagar Budaya bukan ruang untuk mengejar penyerapan anggaran, apalagi lewat pembangunan fisik yang justru mengubah karakter aslinya. Pemagaran yang dilakukan di zona inti justru bisa dianggap mengintervensi lanskap megalit, bukan melindunginya.
Kebijakan Terburu-buru Berpotensi ‘Mematikan’ Wisata dan Identitas Daerah
Lebih jauh Coni menilai, langkah BPK sebagai tindakan serampangan, karena tidak ada penjelasan terbuka mengenai barometer kajian, rekomendasi TACB, atau analisis risiko terhadap dampak sosial dan wisata.
“Ini zona inti, bukan lapangan umum. Semua intervensi fisik harus melalui kajian mendalam. Kalau yang dikejar hanya bangun pagar, ya itu namanya proyek, bukan pelestarian,” tukasnya.
Ia mengingatkan, pemasangan pagar dapat menghambat akses masyarakat, sekaligus memutus mata rantai kunjungan wisatawan asing yang selama ini tertarik pada keunikan megalit terbuka di tiga lembah—Napu, Behoa, dan Bada.
“Kalau sampai wisatawan merasa ruang visualnya rusak, atau aksesnya dibatasi, itu artinya pelestarian berubah jadi bumerang. Kita kehilangan identitas sekaligus potensi ekonomi,” tegasnya.
BPK Wilayah VIII Tak Mampu Menjawab Pertanyaan Kunci: Proyek atau Pelestarian?
BPK Wilayah VIII Palu yang sebelumnya dikonfirmasi media ini menyebut, pemagaran patung megalit merupakan bagian dari pekerjaan Sarana dan Prasarana (Sarpras).
Namun ketika media ini menanyakan apakah paket Sarpras membolehkan pemagaran di Zona Inti dan apa barometer kajian risiko dan alasan ilmiahnya sehingga patung megalit harus dipagari BPK hanya terdiam alias tidak mampu mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Sikap BPK ini semakin memperkuat dugaan, pemagaran megalit di Sulawesi Tengah lebih bernuansa proyek fisik daripada upaya pelestarian yang berdasar pada regulasi UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Posting Komentar