Jejak Telapak Tangan & Temuan Kehidupan 8000 Tahun di Lembah Behoa Membuka Peluang Gugatan Terhadap Teori Megalitikum Sulawesi Tengah


Oleh: Deddy Todongi

Abstrak

Penemuan arkeologis di Sulawesi Tengah mengungkapkan jejak kehidupan manusia yang sangat tua, mendahului gelombang migrasi Austronesia. Fakta ini membuka kembali perdebatan mengenai siapa sebenarnya pembuat budaya megalitik di wilayah ini. Apakah benar megalit di Lembah Bada, Napu, dan Behoa berasal dari pendatang luar seperti teori "Out of Yunan" dan "Out of Taiwan", atau justru merupakan hasil evolusi budaya lokal yang panjang?

Pendahuluan

Teori migrasi dari Yunan dan Taiwan telah lama mendominasi narasi sejarah Asia Tenggara dan Pasifik. Dalam konteks Sulawesi Tengah, teori ini menyatakan bahwa budaya megalitik—yang ditandai oleh arca batu raksasa, kalamba, dan struktur monumental—dibawa oleh kelompok pendatang dari luar wilayah. Namun, temuan-temuan arkeologis mutakhir menimbulkan pertanyaan baru dan membuka ruang kritik terhadap teori tersebut.

Temuan Penting yang Mengubah Perspektif

1. Jejak Kehidupan 8.000 Tahun Lalu di Behoa

Lembah Behoa, Kabupaten Poso, memperlihatkan bukti adanya kehidupan manusia sejak 8.000 tahun yang lalu. Komunitas ini telah hadir ribuan tahun sebelum kedatangan ras Austronesia. Arkeolog Indonesia, Dr. Truman Simanjuntak, menyatakan:

"Penemuan bukti hunian di Sulawesi Tengah yang sangat tua membuktikan bahwa wilayah ini dihuni dan berkembang secara mandiri jauh sebelum migrasi besar Austronesia."
— Simanjuntak, 2013, dalam Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago

2. Lukisan Telapak Tangan Berusia 42.000 Tahun di Topogaro

Lukisan telapak tangan yang ditemukan di Gua Topogaro menambah bukti bahwa manusia modern telah hadir dan aktif secara simbolik di Sulawesi sejak masa Pleistosen. Menurut Dr. Maxime Aubert, arkeolog dari Griffith University:

“Lukisan gua tertua di Sulawesi memperlihatkan bahwa ekspresi seni dan spiritualitas telah berkembang di wilayah ini sejak puluhan ribu tahun lalu, sejajar dengan seni gua Eropa.”
— Aubert et al., 2014, Nature

Menggugat Teori Out of Yunan dan Out of Taiwan

Teori migrasi memang menawarkan kerangka besar untuk memahami persebaran manusia dan budaya. Namun, ketika data lokal menunjukkan adanya kesinambungan budaya yang jauh lebih tua, seperti di Sulawesi Tengah, kita perlu mempertimbangkan ulang.

Prof. Peter Bellwood, salah satu pengusung teori migrasi Taiwan, bahkan mengakui:

“Budaya lokal bisa berkembang secara mandiri dengan sangat kompleks, tanpa selalu menunggu pengaruh luar.”
— Bellwood, 2007, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago

Dengan kata lain, budaya megalitik di Sulawesi Tengah bisa jadi merupakan hasil dari perkembangan sosial dan spiritual masyarakat lokal, bukan semata-mata hasil kontak budaya dengan migran dari luar.

Kesimpulan: Dari Wilayah Pinggiran ke Pusat Peradaban

Sulawesi Tengah, dengan jejak manusia purba berusia puluhan ribu tahun dan tradisi megalitik yang monumental, layak dipandang sebagai pusat peradaban kuno. Bukan hanya jalur persinggahan migrasi, melainkan wilayah dengan akar budaya yang dalam.

Bagi para peneliti dan pembuat kebijakan, penting untuk mengedepankan pendekatan arkeologi yang lebih inklusif dan berimbang—yang memberi tempat bagi narasi lokal, bukan hanya teori global.


Daftar Pustaka

  • Aubert, M. et al. (2014). Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia. Nature, 514(7521), 223–227.
  • Bellwood, P. (2007). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago.
  • Simanjuntak, T. (2013). Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago.
  • Balai Arkeologi Sulawesi Selatan. (2021). Laporan Penelitian Situs Behoa dan Topogaro.


Post a Comment

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1
Post ADS 1